Direktur Standardisasi Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Azhar Hasyim mengatakan sejak tahun 2007 pemerintah telah mengalokasikan Rp 16 miliar untuk pengembangan industri manufaktur dalam negeri. Dana yang terserap adalah Rp 14 miliar sedangkan Rp 2 miliar untuk pembelian perangkat alat ukur Wimax.
Demikian dikemukakannya seusai serah terima alat ukur telekomunikasi Wimax di Gedung Postel, Jakarta, Selasa (29/1/2008). Dana yang Rp 18 miliar untuk 2008, ujar Azhar, memiliki dua alokasi umum. Pertama, sebanyak Rp 8 miliar akan digunakan untuk membeli perangkat alat ukur, chipset, antena, serta untuk membayar lisensi piranti lunak desain. Sedangkan Rp 10 miliar akan digunakan untuk operasional dan biaya pengembangan.
Pengembang Wimax lokal ini mencakup unsur pemerintah, akademisi dan juga swasta. Di antaranya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Universitas Hasanudin Makassar (Unhas), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kementerian Riset dan Teknologi, PT INTI, PT Quasar dan PT Harif.
Azhar mengatakan setiap komponen perangkat Wimax lokal yang berbasis 2,3 GHz ini memiliki koordinator. Untuk pengembangan chipset oleh ITB, pengembangan terminal akhir oleh Ristek melalui BPPT, radio frekuensi baseband oleh LIPI, antena oleh UI, dan sistem operasinya oleh ITB. Dari setiap kelompok tersebut, lanjut Azhar, ada empat puluh peneliti.
Alat ukur telekomunikasi yang akan dibeli adalah dari negara yang paling kompetitif dari segi harga. Beberapa pilihannya adalah Singapura, Taiwan atau Jepang. ( wsh / wsh )
Demikian dikemukakannya seusai serah terima alat ukur telekomunikasi Wimax di Gedung Postel, Jakarta, Selasa (29/1/2008). Dana yang Rp 18 miliar untuk 2008, ujar Azhar, memiliki dua alokasi umum. Pertama, sebanyak Rp 8 miliar akan digunakan untuk membeli perangkat alat ukur, chipset, antena, serta untuk membayar lisensi piranti lunak desain. Sedangkan Rp 10 miliar akan digunakan untuk operasional dan biaya pengembangan.
Pengembang Wimax lokal ini mencakup unsur pemerintah, akademisi dan juga swasta. Di antaranya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Universitas Hasanudin Makassar (Unhas), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kementerian Riset dan Teknologi, PT INTI, PT Quasar dan PT Harif.
Azhar mengatakan setiap komponen perangkat Wimax lokal yang berbasis 2,3 GHz ini memiliki koordinator. Untuk pengembangan chipset oleh ITB, pengembangan terminal akhir oleh Ristek melalui BPPT, radio frekuensi baseband oleh LIPI, antena oleh UI, dan sistem operasinya oleh ITB. Dari setiap kelompok tersebut, lanjut Azhar, ada empat puluh peneliti.
Alat ukur telekomunikasi yang akan dibeli adalah dari negara yang paling kompetitif dari segi harga. Beberapa pilihannya adalah Singapura, Taiwan atau Jepang. ( wsh / wsh )
No comments:
Post a Comment